Make your own Glitter Graphics

Jumat, 16 Maret 2012

penyimpangan remaja


Remaja dan perilaku menyimpang

Sebuah adegan yang tak lumrah terekam melalui video handphone. Medio April 2008 sekelompok remaja putri menganiaya temannya sendiri dengan cara memukul bergantian ke arah kepala—organ vital yang menentukan masa depan setiap orang.
Dari dialog yang terrekam, korban diperintah menunjukkan sikap hormat pada anggota-anggota geng yang bernama Nero (Neko-neko Dikeroyok). Saat korban mengangkat tangan ke samping kanan dahinya –seperti layaknya hormat bendera—seorang temannya mendampar wajahnya berkali-kali. Lalu sesekali menjotos tepat di hidung dan mulut korban sampai kepala korban terantuk ke belakang. Sebuah pertunjukan yang paling banter bisa ditemui di atas ring tinju. Namun pertunjukan yang satu ini lebih dari perhelatan di atas ring tinju: tanpa sarung tangan, dilakukan dengan keroyokan dan tanpa perlawanan dari pihak lawan.


komentar;
 
indikasinya bisa bermula dari yang sederhana saja : kita merasa, perilaku menyimpang remaja, seperti kekerasan yang dilakukan remaja putri di atas, benar-benar menggelisahkan kita. Ini hanya sebagai pengganti kata-kata yang terkesan retoris: kita merasa, perilaku tersebut sungguh-sungguh mengiris-iris hati nurani kita
 
menguatkan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas norma. Lembaga-lembaga tersebut diharapkan mampu menopang norma-norma yang ada sekaligus menyesuaikannya sesuai dengan perubahan zaman. Disini peran keluarga sebagai lembaga yang memiliki otoritas norma sungguh penting. Mengingat, keluarga merupakan lembaga pertama dan utama yang mengenalkan remaja pada norma-norma. Tidak kalah penting dari keluarga adalah sekolah. Pada institusi sekolah inilah keluarga turut menumpukan harapan. Sekolah adalah institusi yang sengaja dibuat untuk mendidik remaja agar bisa bersosialisasi di masyarakat dengan baik.

 Jika kekerasan ini tampil mengisi ruang dan waktu seseorang tanpa ada reaksi penolakan, ada saatnya kekerasan dianggap sebagai kejadian yang lumrah adanya. Kekerasan tidak bisa lagi ditolak sebagai perilaku yang melanggar norma karena sudah diwajarkan oleh sebagian besar masyarakat. Saat kita menikmati adegan kekerasan bahkan memengaruhi dan mengubah cara kita memandang kekerasan, pada dasarnya kita telah mengalami desensitisasi sistematis. Yakni proses yang secara sistematis memungkinkan seseorang mewajarkan sesuatu karena sesuatu itu muncul berulang-ulang. Kekerasan akan dianggap wajar jika hal itu muncul secara berulang-ulang dan seakan diterima di masyarakat sebagai realitas biasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar